Dec 23, ’09 8:51 PM |
Loket stasiun cawang, jarum jam menunjukkan 19:00, sedikit bimbang berdiri di depan loket saat mengetahui kereta api ekonomi ac baru ada jam 20:30, pakuan ekspres sudah lewat sejak pukul 17:30. Pilihan satu-satunya hanyalah ka ekonomi yang katanya akan lewat sebentar lagi..
Menggendong tas overload, berisi perbekalan outbond selama 2 hari, celana gunung + kaos oblong gratisan dari eo menambah kesan kucel semakin nyata.
Tampang lusuh setelah menempuh perjalanan dari lembang semakin bertambah kusam saat mengetahui yang harus dihadapi adalah ka ekonomi. Perjalanan 1 jam nan melelahkan terbayang sudah..
Berharap masih bisa mendapatkan pakuan tanah abang di sudirman, ku melangkahkan kaki menuju peron sebrang, mencegat kereta arah jakarta..
Baru sampai di manggarai, ketika belum ada kereta arah sudirman, dari jakarta sudah muncul si ekonomi. Dengan berat hati akirnya kunaiki juga itu kereta.
Kereta yang sudah sangat penuh untuk ukuran orang awam, namun masih dianggap kosong oleh para komuter, rombongan kereta yang tampaknya sudah terbiasa menaiki si eko.
Semerbak aroma keringat langsung merasuk saat memasuki gerbong, bergabung bersama ratusan penumpang yang sudah lebih dahulu berada di gerbong. Serempak berpegangan, bergantungan di pintu, mengisi celah-celah yang masih memungkinkan untuk ditempati. Dorongan dari penumpang belakang menempatkanku tepat di tengah jalur pintu. Tanpa ada pegangan, terhimpit tubuh penumpang lain, tak perlu khawatir akan terjatuh, karena sudah tidak ada ruang untuk jatuh.
Memasuki cawang, penumpang semakin menumpuk, penumpang yang akan menaiki gerbong seakan tak peduli dengan keadaan di dalam gerbong yang sudah sangat padat. Mereka hanya berpikir bagaimana caranya mereka bisa terangkut kereta ini. Desakan dari luar semakin menambah erat himpitan, penumpang di sisi lain gerbong mencoba bertahan agar tubuhnya tidak terdorong keluar, sementara di sisi peron para penumpang mengerahkan segenap kekuatannya agar bisa masuk kereta. Pertemuan dua kekuatan itu semakin membuatku terhimpit, keringat deras mengucur, posisi berdiri sudah miring 20 derajat, posisi yang dalam kondisi normal akan membuat siapapun terjatuh, namun kereta ini sudah sangat padat sehingga tak mungkin terjatuh di gerbong.
Terbayang sudah perjuangan mereka yang harus setiap hari menaiki kereta ini, badan yang sudah lelah mengerjakan pekerjaan kantor masih harus dibebani lagi oleh perjuangan mendapatkan tempat di kereta, pulang pergi seperti ini.
Angin sejuk yang berhembus dari jendela saat kereta melaju sudah tidak kurasakan lagi yang ada hanyalah hawa panas laksana di spa. Desahan nafas yang berebut oksigen tersisa dari gerbong yang seakan berubah menjadi kaleng sarden. Malam hari saja sudah seperti ini panasnya, bagaimana dengan mereka yang harus mengarungi ganasnya si eko di siang hari..
Arghh.. Sedemikian kejamnyakah tuntutan mencari nafkah di ibukota. Mereka yang malam ini bergantungan di kereta akan mengulangi ritual yang sama esok hari, tubuh yang belum pulih dari penatnya perjuangan malam ini akan kembali dipaksa berjuang di pagi hari, untuk kemudian mengulangnya saat malam tiba..
Omg.. Sungguh aku bersyukur masih bisa menikmati pakuan..