May 16, ’09 3:39 AM
Kramat Djati, merk yang sudah kondang dalam dunia bis malam. Merupakan bis idola sejak jaman kecil dulu. Kekaguman akan bis ini bermula saat menunggu keberangkatan bis lain ke Malang, tiba-tiba lewat serombongan kramat djati, drivernya memakai baju formal, lengkap dengan dasi. Sejak itulah timbul rasa kagum terhadap kramat djati. Terlebih lagi jika memesan tiket di jalan Ambon, wah tiketnya hasil print out komputer, persis seperti tiket kereta api eksekutif!
Pokoknya kramat djati, setiap hendak berpergian dengan bis malam pilihan pertama adalah kramat djati. Tak peduli apa kata orang; “..kramat djati gak pernah nyetel film..”, “…makanannya gak enak…”,”..bawanya gak mulus..”, dan semua omongan negatif tentang kramat djati tak pernah digubris.
Namun itu dulu, sekarang saat setiap hari harus melalui rute jakarta bogor, kramat djati sudah bukan pilihan pertama lagi. Mungkin karena rutenya pendek, sehingga bis-bis yang disediakan kramat djati tidak sebaik armada bis malamnya. Sebenarnya tidak masalah jika bisnya merupakan bis lama yang sudah tidak digunakan lagi sebagai bis malam, asalkan kondisinya tetap prima. Tapi bis kramat djati komuter terlalu banyak kekurangan jika dibandingkan dengan pesaingnya, misalnya laju utama atau arga mas.
Jarak antar bangku yang sempit, ac yang tidak bisa diatur, terkadang gordeng sudah bau, dan kecepatan yang biasa-biasa saja membuat kramat djati dihindari. Bahkan jika bis yang akan berangkat dibelakang kramat djati adalah laju utama atau arga mas, dipastikan penumpang akan memilih bis yang dibelakang. Tak masalah berangkatnya lebih lama, asalkan sampainya lebih cepat dan nyaman. Tol jagorawi menjadi saksi disusulnya kramat djati yang berangkat lebih cepat oleh bis-bis dibelakangnya.
Disinlah terjadi pergolakan antara idealisme dan realitas, satu sisi ingin memilih kramat djati yang merupakan pahlawan masa kecil, namun disisi lain kenyamanan dan kecepatan bis rival selalu menjadi pertimbangan. Akhirnya realitas yang menang, dengan berat hati kulewati pintu kramat djati, kulirik masih banyak bangku kosong. Langsung aku naik bis yang ngetem tepat dibelakangnya, lho ternyata bis ini justru sudah lebih penuh daripada kramat dajati. Ternyata bukan aku seorang yang menghindari kramat djati 😦